21 Mei 2012

Dimensi Ruang Hati

"Sebelumnya, maaf kalo postingan kali ini sedikit menye-menye. Kalau udah terlanjur buka blog ini terus langsung ilfil sama postinganku, langsung close tab aja deh daripada nyesel. Muehuehue."
Ehm ehm, tes tes tes................................


Kalaupun aku berkata bahwa, aku akan bahagia melihatmu bahagia itu adalah hal termunafik yang pernah ku ucapkan. Tentu ada sedikit serpihan kesedihan yang tergores dibalik senyumku. Bukan aku tak ingin melihatmu tersenyum bahagia, melainkan bukan aku yang membahagiakanmu. Semacam mencabut "namamu" yang telah ku pahat kuat-kuat dalam hati. Sakit. Nggak gampang. Dan melukai sebagian hati yang telah patah.
Keterpurukan adalah suatu kepastian. Namun aku berpikir bahwa dibalik keterpurukan itu terdapat dua dimensi yang membuat aku menjadi semakin kuat maupun rapuh. Kekuatan itu kudapatkan dari sahabat yang selalu menyertai kisahku. Merekalah yang mengajarkan bagaimana menjadi seorang yang konsisten dalam memerankan diri sendiri dalam sandiwara kehidupan, merekalah juga yang menyadarkanku bahwa hidup itu indah, sehingga rugi jika ku sia-siakan. 


Tak dapat kupungkiri bahwa ada suatu keterpurukan di sisi berikutnya. Sisi yang ingin ku acuhkan, dan hindari. Satu sisi dimana Tuhan menyiapkan bumerang tajam untukku. Yang siap menerkam ku mentah-mentah. Dan tak ragu membunuhku perlahan. Dalam sekaratku, aku terus bermunajat. Memohon. Meminta. Dari situlah lahir sebuah semangat kemudian tegas membangkitkanku.
Untuk sementara aku akan membiarkan sajak-sajak yang kau lukiskan membekas dan melumuti pikiranku. Bukan apa-apa. Hanya saja, aku belum menemukan pena lain yang mau menyanyikan sajaknya halus dalam sanubari.


Namun, kalaupun aku berkata bahwa aku belum menemukan sajak-sajak lain, aku tidak hanya membohongi diri sendiri, melainkan orang lain pun telah ku bohongi. Telah kutemui pena yang menyentuh perlahan dalam relung. Melukiskan sajak-sajak yang jumlahnya tak sebanyak dan seindah sajak berlumut sebelumnya. Namun sajak yang diciptakannya ini dapat membuatku belajar melangkah dan menentukan arah. Mungkin sajak yang diciptakan dari pena inilah takdir yang memaksa jalanku terus mengikutinya.

0 Comment:

Posting Komentar