3 Februari 2014

Me-ta-mor-fo-sa

Tidak banyak orang menyadari bahwa telah terjadi perubahan dalam dirinya, dan membiarkan perubahan itu terjadi sebagaimana mestinya. Tapi, nggak banyak orang pula menyukai perubahan. Perubahan pada hati misalnya. *eh* *fokus fokus fokus*
Bukan perkara hati, melainkan jiwa. Karena apalah arti seonggok hati, tanpa ada sebuah jiwa yang membuatnya utuh. Sebuah jiwa yang rapuh akan melahirkan hati yang ringkih. Dan sebuah jiwa yang teguh akan membuat sebuah hati yang meskipun bersuasana gaduh akan terasa damai.
Bukan perkara raga, melainkan karakter. Karena apalah arti dari seonggok raga yang bergerak, tanpa ada sebuah karakter yang hidup didalamnya. Sebuah karakterlah yang memunculkan presepsi dari setiap mata yang menilainya. Menimbulkan beberapa prasangka-tak-bertanggungjawab yang berawal dari rasa keingintahuan untuk sekedar mengenal karakter itu lebih dekat. 
Jadi, bagian dari tubuh mana yang bermetamorfosa? Hati? Jiwa? Raga? Atau karakter? 
Jika salah satu dari mereka bermetamorfosa; Bagaimana mekanisme, siklus, gejala, perubahan dari bentuk 'apa' ke bentuk 'apa', dan segala bla bla bla lainnya. Maka kemudian hadirlah tanda tanya yang mengantarku menjamah halaman blog lusuh dan berisi tulisan sampah seorang remaja labil yang (dulu) usianya belum menginjak angka kepala 2 ini. Yaudasik, bolehlah menghiraukan kalimat kedua terakhir sebelum kalimat ini.
Dengan ritme rasa keingintahuanku yang lebih besar dari biasanya, aku tetap mencoba menyelami pertanyaan-pertanyaan itu, meskipun akhirnya aku tenggelam. Apa cuma aku yang tak memahami diriku? Entahlah. Aku masih tenggelam. Ya, tidak hanya terhanyut namun lebih parah lagi.
Aku tak mau menenggelamkan diri terlalu lama. Sesak. Maka, aku coba untuk menyudahinya. Dan aku berhasil. 
Tenang... tenang... tenang...
Dan ketenangan ini yang menjadikan titik terang itu menggumpal.
Oke...
Perubahan ternyata tidak selalu baik. Perubahan juga bisa menjadi ketakutan bagi pemiliknya. Dan satu-satunya perubahan yang aku takutkan adalah perubahan yang positif, namun melewati jalan yang salah. Ketakutan yang semena-mena menyerang dada sampai tulang rusukku, menjadikan darahku mendidih, dan menghubungkan saraf-saraf neuron di otakku lebih rekat dari biasanya. Lalu aku bisa apa? Jika memang benar adanya bahwa ketakutan itu benar benar dekat dengan tulang rusukku yang hampir patah, terkandung dalam darahku yang mendidih, dan senantiasa berada tepat pada sambungan neuron di otakku........
Semua orang ingin menjadi dewasa, bukan? Semua orang ingin punya aura kewibawaan yang berlimpah, bukan? Semua orang ingin menunjukkan pada semua orang bahwa mereka adalah orang-orang yang berkualitas, bukan? Ah, Klise.
Semua itu boleh jadi tujuan dari perjalanan bermil-mil kita selama hidup di dunia. Tapi, kebanyakan dari kita tidak tahu bagaimana menuju tujuan yang positif itu dengan jalan yang benar. Kebanyakan dari kita, tahu mana jalan yang seharusnya dilalui, tapi terkadang kita 'merasa' tersesat. 'Merasa' bahwa sepertinya bukan jalan ini yang seharusnya dilalui. Sehingga, mereka yang demikian cenderung memaksakan dirinya untuk memilih jalan lain yang sebenarnya adalah jalan yang membuat mereka benar-benar tersesat menuju tujuan. Itu yang aku alami. Bahkan bagaimana cara berteriak pun aku tidak mampu. Lalu apa yang harus aku lakukan? Menunggu ada orang lain yang juga tersesat, dan mencari jalan bersama? Atau membiarkan diriku mencari jalan keluar sendiri?
Entahlah.....................................