Sebelum aku merasakan perasaan yang menjijikkan ini, aku bagaikan kunang-kunang yang bebas berjalan di kegelapan. Seperti tidak ada kabut penghalang yang menghalangi langkahku untuk terbang di dalamnya. Tanpa ingin kuterangi pun, kegelapan itu tak pernah memintaku untuk selalu meneranginya. Kegelapan itu tak pernah menghiraukan kehadiranku. Sesaat aku hadir maupun setelah aku pergi, kegelapan tidak pernah bahkan tidak ingin memalingkan sedikitpun perhatiannya ke arahku.
Namun, ketika aku merasakan perasaan yang menjijikkan ini, mengapa Tuhan mentakdirkan aku untuk selalu menerangi kegelapan itu ? Apa tiada hal lain yang bisa aku lakukan selain kewajiban mutlak yang harus aku lakukan ini? Seandainya, kegelapan itu tahu mengapa aku selalu meneranginya, aku takkan segan bermalam panjang sampai kegelapan itu lenyap tergantikan siang. Bahkan aku rela mati menunggu kegelapan ditengah teriknya elegi sang pagi. Tapi kenyataanlah yang menyadarkanku. Kegelapan itu tak mengerti alasan mengapa aku meneranginya.
Kegelapan malam itu seolah hanya mengetahui alasan mengapa lampu jalan meneranginya. Hanya itu. Padahal, tak setiap waktu lampu lampu jalan itu meneranginya. Lampu-lampu itu menerangi kegelapan hanya jika listrik desa sepanjang jalan tak putus diterjang hujan. Tapi aku? Akulah kunang-kunang bodoh yang selalu menerangi kegelapan tanpa menghiraukan seberapa peduli kegelapan itu dengan keberadaanku.
Aku memohon kepada Tuhan agar aku bisa meninggalkan kegelapan yang tak pernah pedulikanku. Maka dari itu, Tuhan Yang Maha Pemurah memberi pilihan kepadaku. Jika aku ingin meninggalkan kegelapan yang seharusnya aku terangi, aku harus mati. Namun, aku akan tetap hidup jika aku masih tetap menerangi kegelapan dan menahan perasaan sakit tanpa hirauan kegelapan yang aku terangi.
Jika Tuhan megizinkan aku akan memilih mati dan meninggalkan seberkas cahaya yang tersisa untuk kegelapan yang dulu benderang karena cahaya yang kuberikan.
Mungkin setelah aku mati kelak, perlahan kegelapan itu akan menyadari alasan selama ini aku meneranginya dengan ketulusan.